Berhenti Mencintai Sepak bola Indonesia?

Entah, sejak kemarin timbul rasa tak karuan. Semacam rasa benci, marah atau perasaan negatif lain terhadap keputusan PSSI dalam hal ini melalui ketua umumnya yang memberhentikan pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong. Bukan apa-apa, bingung saja dengan maksud dan tujuan semua keputusan ini. Secara klise tersampaikan alasan, bisa saja dimengerti, tapi maksud sebenarnya siapa yang tahu. Mengganjal perasaan. Huh!

Sebenarnya itu bukan urusan saya, untung rugi secara materi saya juga tak ada. Tapi, bagi saya yang terlanjur merasa menjadi bagian dari rakyat Indonesia yang mendukung tim nasional, keputusan ini terasa pahit. Siapa yang dulunya menyangka kalau torehan prestasi bisa diraih dalam beberapa tahun terakhir: lolos piala Asia 2023 dan 2027, Ronde 3 kualifikasi  piala dunia untuk pertama kali, dan lainnya. 

Peningkatan kualitas tim nasional harus diakui begitu baik, walau ada yang beralasan semua karena adanya banyak pemain diaspora, toh tidak semua pelatih bisa melakukan dengan materi pemain yang sama. 

Kalau tolok ukur prestasi adalah sebuah piala, alangkah baiknya dipikir ulang. Bukan tidak penting, tapi seberapa layak untuk mendapatkan piala dengan kualitas kompetisi dan pembinaan sepak bola di Indonesia. Semua butuh proses, kalau ingin instan mendingan pilih mie saja: mie instan, kan sekarang ada mie sukses yang isi dua!. Kenyang sekalian!.

PPDRI Cup Purbalingga Th 2022

Saya tidak begitu detail mengikuti sepak bola dalam negeri, khususnya Liga Indonesia, kurang menarik dan terlalu banyak drama menurut saya. Walau saya akui sesekali masih nonton di televisi saat Persis Solo atau PSIS Semarang bertanding, tak lebih karena rasa penasaran perkembangan tim dari Jawa Tengah di Liga 1. Lebih menyenangkan menyaksikan pertandingan antar desa atau kecamatan, seru dan kadang ada keras-kerasnya, khas sepak bola Indonesia. 

Tapi, untuk urusan pemecatan pelatih kali ini membuat saya jadi tidak nyaman, minimal mulai kemarin sampai saat membuat tuisan ini. Saat membuka media sosial, X khususnya, begitu banyak cuitan kontra dengan putusan PSSI, apalagi calon pelatih yang dipilih belum jelas rekam jejak kepelatihannya. Patrick Kluivert, nama ini yang digadang-gadang akan menjadi pelatih menggantikan STY. Secara nama tentu sudah tidak asing, bagus sebagai pemain, tapi belum teruji prestasinya sebagai pelatih. 

Bukan bermaksud mendewakan atau mengecilkan satu dan lain pihak, asalkan jelas alasan, permasalahan dan solusinya, saya kira semua akan baik-baik saja. Kalau mau berfikir jelek, jangan-jangan memang tujuannya "kesana". Entah. Sulit ditebak, tapi mengingatkan pada sebuah iklan minyak telon: "buat timnas kok coba-coba..."

Apapun itu, keputusan-keputusan yang tidak populer semacam ini menyiratkan hasrat untuk berhenti mencintai sepak bola Indonesia. Terlalu melelahkan. Dulu sempat acuh dengan Timnas untuk beberapa waktu, cukup lama, semenjak ada perbaikan prestasi sedikit demi sedikit mulai kembali menantikan pertandingan demi pertandingan Timnas. Apalagi sejak masuk ke R3 kualifikasi piala dunia. Tapi apa mau dikata, mengumpat pun tidak akan merubah keputusan aneh ini.

Sekarang harus lebih realistis, hidup bukan hanya urusan sepak bola. Bagaimanapun juga tak ada guna berkeberatan mengenai putusan-putusan yang menyangkut sepak bola. Mencintai kadang juga disakiti, terlalu berharap juga tak baik. Berusaha biasa saja. 

Sedikit berfikir positif, mungkin Shin Tae-yong lebih baik tidak melatih Timnas Indonesia, terlalu melelahkan dan kebanyakan drama. Suwun Pak STY, baik-baik disana. Baik-baik juga disini.

Post a Comment for "Berhenti Mencintai Sepak bola Indonesia?"