Sepak Bola Sebagai "Bahasa" Pemersatu
Terkadang saya merasa miris saat mendengar kabar mengenai persepakbolaan di Indonesia, bagaimana tidak?, prestasi tak kunjung diraih namun kabar negatif sering muncul kepermukaan. Masih hangat dalam ingatan ketika beberapa hari yang lalu Tim U-23 harus takluk dari Korea Selatan dengan skor menohok, 4-0. Walau "hanya" babak penyisihan Piala Asia U-23, namun tetap saja menyesakkan bagi para pendukung Timnas.
Bukan rahasia lagi kalau sepak bola di Indoensia merupakan salah satu cabang olah raga yang banyak penggemarnya. Kelompok suporter dari klub sepak bola Indonesia pun terkenal militan, apapun bisa dilakukan demi mendukung klub kebanggaan mereka, jangankan harta, nyawa pun kadang diabaikan hanya semata untuk mendukung klub yang mereka dukung.
Namun, sayang seribu sayang, besarnya dukungan masyarakat tak berbanding lurus terhadap prestasi, terkhusus bagi Timnas Indonesia disegala level, junior maupun senior. Sempat harapan membumbung pada Timnas U-19 yang dimotori oleh Evan Dimas cs, namun sayang harapan tinggal harapan, semua pupus dan harus berakhir kegagalan.
Lepas dari prestasi sepak bola Indonesia, sepak bola sendiri sebenarnya hanyalah sebuah cabang olah raga, dan dibutuhkan suportifitas didalamnya. Tapi terkadang banyaknya kepentingan membuat sepak bola menjadi komoditas yang dijadikan "rebutan" banyak individu maupun kelompok. Baca tulisan saya sebelumnya:
Tulisan pertama tentang kondisi organisasi sepak bola yang carut marut yang berimbas pada prestasi Timnas, tulisan kedua tentang tawur antar suporter yang mengakibatkan korban jiwa, sedangkan tulisan ketiga mengenai suporter Indonesia yang belum dewasa dalam mendukung klub maupun Timnas.
Belajar Dari Film Cahaya Dari Timur
Sudah agak terlambat barangkali, ketika saya bercerita mengenai film yang sudah lama tayang di bioskop, barangkali tahun lalu film ini tayang di bioskop. Tak mengapa, karena nyatanya saya baru menyaksikan film ini tayang di televisi beberapa malam yang lalu.
Bukan rahasia lagi kalau sepak bola di Indoensia merupakan salah satu cabang olah raga yang banyak penggemarnya. Kelompok suporter dari klub sepak bola Indonesia pun terkenal militan, apapun bisa dilakukan demi mendukung klub kebanggaan mereka, jangankan harta, nyawa pun kadang diabaikan hanya semata untuk mendukung klub yang mereka dukung.
Namun, sayang seribu sayang, besarnya dukungan masyarakat tak berbanding lurus terhadap prestasi, terkhusus bagi Timnas Indonesia disegala level, junior maupun senior. Sempat harapan membumbung pada Timnas U-19 yang dimotori oleh Evan Dimas cs, namun sayang harapan tinggal harapan, semua pupus dan harus berakhir kegagalan.
Lepas dari prestasi sepak bola Indonesia, sepak bola sendiri sebenarnya hanyalah sebuah cabang olah raga, dan dibutuhkan suportifitas didalamnya. Tapi terkadang banyaknya kepentingan membuat sepak bola menjadi komoditas yang dijadikan "rebutan" banyak individu maupun kelompok. Baca tulisan saya sebelumnya:
- Jadi Apa Sepak bola Indonesia?
- Bubarkan Klub Atau Kelompok Suportenya?
- Siap Menang, (Tidak) Siap Kalah
Tulisan pertama tentang kondisi organisasi sepak bola yang carut marut yang berimbas pada prestasi Timnas, tulisan kedua tentang tawur antar suporter yang mengakibatkan korban jiwa, sedangkan tulisan ketiga mengenai suporter Indonesia yang belum dewasa dalam mendukung klub maupun Timnas.
Belajar Dari Film Cahaya Dari Timur
Sudah agak terlambat barangkali, ketika saya bercerita mengenai film yang sudah lama tayang di bioskop, barangkali tahun lalu film ini tayang di bioskop. Tak mengapa, karena nyatanya saya baru menyaksikan film ini tayang di televisi beberapa malam yang lalu.
Cahaya Dari Timur. Ya, film yang saya tonton ketika tayang di SCTV. Sungguh, mulanya saya tak tahu menahu mengenai isi dari film ini, yang saya tahu Cahaya Dari Timur di produseri oleh Glenn Fredly dan film ini mendapatkan banyak penghargaan dalam sebuah ajang festival film di Indonesia. Selebihnya?, saya tak begitu tahu menahu.
Namun, setelah saya menyimak film ini dari awal hingga tuntas, akhirnya saya mengerti alasan kenapa film ini layak ditonton dan akhirnya mendapatkan banyak penghargaan. Bagus, cerita film ini menurut saya sangat menarik. Cerita tentang konflik antar agama di Ambon dan daerah sekitar di tahun 1999 yang menelan banyak korban jiwa, hingga akhirnya munculah sepak bola sebagai pemersatu perbedaan.
Maaf, saya tidak ingin me-review atau membuat sinopsis tentang film ini, saya hanya ingin memberi gambaran betapa saya kagum dengan ide film dan kisah nyata dari tokoh yang ada dalam film Cahaya Dari Timur ini. Banyak hikmah yang bisa diambil.
Saya percaya banyak diantara kita yang mengetahu tentang nama-nama pemain sepak bola yang telah membela Tim Nasional Indonesia dan berasal dari Maluku, sebut saja Alfin Tuassalamony, Risky Pellu, Hendra Adi Bayauw, dan beberapa nama lain. Tiga nama yang saya sebut tersebut rupanya terkisahakan dalam film ini, mereka adalah para pemain Maluku U-15 yang menjuarai Piala Medco U-15 tahun 2006. Tokoh sentral dalam film ini adalah Sani Tawainella, seorang tukang ojek yang dulunya mantan pemain sepak bola yang pernah mewakili Indonesia di Piala Pelajar Asia 1996. Dia adalah pelatih sepak bola yang berhasil menyatukan anak-anak dengan latar belakang agama yang berbeda.
Seperti yang saya sampaikan diatas, saya tidak ingin berpanjang lebar, hanya sedikit menggambarkan betapa film ini layak mendapatkan apresiasi. Tonton saja bila ingin mendapat suguhan cerita menarik, sebuah kisah nyata yang diangkat dalam sebuah film. Sepak bola mampu menjadi bahasa pemersatu.
Maaf, saya tidak ingin me-review atau membuat sinopsis tentang film ini, saya hanya ingin memberi gambaran betapa saya kagum dengan ide film dan kisah nyata dari tokoh yang ada dalam film Cahaya Dari Timur ini. Banyak hikmah yang bisa diambil.
Saya percaya banyak diantara kita yang mengetahu tentang nama-nama pemain sepak bola yang telah membela Tim Nasional Indonesia dan berasal dari Maluku, sebut saja Alfin Tuassalamony, Risky Pellu, Hendra Adi Bayauw, dan beberapa nama lain. Tiga nama yang saya sebut tersebut rupanya terkisahakan dalam film ini, mereka adalah para pemain Maluku U-15 yang menjuarai Piala Medco U-15 tahun 2006. Tokoh sentral dalam film ini adalah Sani Tawainella, seorang tukang ojek yang dulunya mantan pemain sepak bola yang pernah mewakili Indonesia di Piala Pelajar Asia 1996. Dia adalah pelatih sepak bola yang berhasil menyatukan anak-anak dengan latar belakang agama yang berbeda.
Seperti yang saya sampaikan diatas, saya tidak ingin berpanjang lebar, hanya sedikit menggambarkan betapa film ini layak mendapatkan apresiasi. Tonton saja bila ingin mendapat suguhan cerita menarik, sebuah kisah nyata yang diangkat dalam sebuah film. Sepak bola mampu menjadi bahasa pemersatu.
5 comments for "Sepak Bola Sebagai "Bahasa" Pemersatu"
Kebanyakan dari program peninggi badan yang ditawarkan kurang efektif, biasanya berisikan saran dan teori saja. Sehingga program tersebut hanya membuang uang, waktu dan tenaga Anda saja. Mungkin Anda bertanya-tanya, apakah mungkin tulang masih dapat tumbuh jika sudah berumur diatas 25 tahun? Kami setuju dengan Anda, siapapun akan berpendapat begitu termasuk para ahli ortopedi, bahwa tulang secara permanen akan mengalami penghentian pertumbuhan pada usia sekitar 18 tahun (tiap orang beragam). Disini Kami membeberkan bahwa ada beberapa komponen tulang yang masih bisa dapat dikembangkan atau yang lebih dikenal dengan sebutan tulang rawan.
Berminat? silahkan hubungi 081266771899 atau www.tinggibadan.com