Wayang Kulit, Ceritamu Dulu
Malam itu, saat malam sudah larut, saya mendengar siaran wayang kulit dari radio tetangga sebelah. Suasana yang sudah lama tidak saya nikmati, dulu waktu masih di rumah Klaten, masih biasa saya mendengrakannya, meski dari radio tetangga yang volumenya lumayan tinggi. Untuk ukuran wilayah, Slawi mungkin bukanlah wilayah yang terbiasa dengan wayang kulit, ini menurut pengalaman saya selama lima tahun di Slawi, meskipun Tegal mempunyai dalang kondang Ki Enthus Susmono.
Sudah bertahun-tahun saya tak lagi menyaksikan pertunjukan wayang kulit, lain halnya dengan beberapa tahun yang lalu, di tahun 90-an, saat saya masih kecil hingga menginjak remaja. Kebetulan waktu itu pertunjukan wayang kulit masih terbilang sering dipentaskan, baik acara 17-an, rasulan, sukuran, atau orang yang punya acara lain.
Meski tak dari awal sampai selesai, tapi menyenangkan juga melihat keramaian pedagang dan penonton, terutama saat pementasan limbukan dan gara-gara. Limbukan adalah saat keluarnya tokoh Limbuk dan Cangik, biasanya sebelum jam 12 malam, sedangkan gara-gara biasanya saat keluarnya tokoh punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong), biasanya sesudah jam 12 malam atau dini hari. Pada sesi ini biasanya keluar banyolan-banyolan menyegarkan dan lagu-lagu dari para sinden atau penyanyi.
Dengan semakin berkembangnya jaman, pentas wayang pada waktu itu tak hanya menampilkan sinden, namun terkadang dengan membawa penyanyi. Bahkan, tak jarang untuk menarik penonton atau untuk memeriahkan acara dengan menampilkan pelawak juga. Dalang yang terkenal saat itu diantaranya: Ki Anom Suroto, Ki Warseno Slank, Ki Bagong, Ki Joko 'Edan', Ki Manteb Sudarsono, dll.
Dengan semakin berkembangnya jaman, pentas wayang pada waktu itu tak hanya menampilkan sinden, namun terkadang dengan membawa penyanyi. Bahkan, tak jarang untuk menarik penonton atau untuk memeriahkan acara dengan menampilkan pelawak juga. Dalang yang terkenal saat itu diantaranya: Ki Anom Suroto, Ki Warseno Slank, Ki Bagong, Ki Joko 'Edan', Ki Manteb Sudarsono, dll.
Kini semua tinggal kenangan, semakin sedikit yang nanggap wayang sepertinya, mungkin selain biaya nanggap yang terbilang besar, kemajuan jaman menggerus dan menuntut yang praktis dan mengikuti selera masa kini. Entah apakah saat ini wayang kulit masih eksis atau tidak, namun saya
berharap wayang kulit dan juga kesenian tradisionla lain masih eksis.
19 comments for "Wayang Kulit, Ceritamu Dulu"
Ada perasaan luar biasa saat mendengarkan warisan budaya bangsa tersebut.
Kalau kamu di tanggap satu malam, membayaran berapa?
Terima kasi,
Rio
Anda tau lakonya Petruk hilang pethelnya?
Terima kasi,
Rio (robitos@hotmail.com)