Saya Hanya Menulis
Saya bingung saat harus berkomentar pada postingan mbak Winny Widyawati yang berjudul AADP (Ada Apa Dengan Puisi). Dari dulu saya bertanya-tanya, kenapa disebut puisi? kenapa harus ada sekat pemisah antara rangkaian kata?, bukankah setiap kata maknanya sama?. Akhirnya saya iseng berkomentar demikian:
Kata-kata diatas sebenarnya bukan puisi (menurut saya), tapi saya 'puisi-puisi kan' dengan pemenggalan kata sedemikian rupa. Saya sebenarnya cuma mau menulis demikian:............saya malah bingung,
kok tulisan di sebut puisi
misalnya
saya menulis
kata-kata yang sama
mungkin ada yg bilang puisi
ada yg bilang
bukan...............
................saya malah bingung, kok tulisan di sebut puisi. misalnya saya menulis kata-kata yang sama, mungkin ada yg bilang puisi ada yg bilang bukan...................
Hidup memang sebuah tafsir, kata apapun bisa dimaknai seperti yang kita tafsirkan, puisi atau bukan tidak terlalu penting untuk diperdebatkan. Setiap kata ingin perlakuan yang sama, karena kata-kata tidak mengenal jenis kelamin maka kurang bijaksana kalau melihat tulisan seseorang dengan identifikasi gender (ada yang bilang kalau puisi itu lebih dominan wanita dan identik dengan cengeng).
Saya menulis di blog ini kebanyakan saya namai puisi, bukan karena ini kumpulan puisi, bukan pula ingin di identikkan dengan istilah puitis, saya hanya ingin menamai tulisan saya Puisi. Setiap kata terkadang juga butuh penegasan, seperti seseorang yang ingin dibilang cantik, ganteng, tinggi, gendut, dll.
Buat mbak Winny, terimakasih banyak, postingan jenengan membuat saya 'akhirnya' mendapatkan ide dan bisa menuliskan ini. Maaf kalau saya salah menafsirkan. Apapun itu namanya yang pasti terus semangat ngeblog...he.he.he
25 comments for "Saya Hanya Menulis"
Saya dapat 'ilmu' mas, katanya orang suka menulis bagus-bagus semacam puisi itu, orangnya 'sensitif' dalam arti peka, rasa emphatynya besar terhadap orang lain atau terhadap lingkungannya.
Memang saya temukan begitu khususnya dalam tulisan2 mas Sukadi yg sering menceritakan (walaupun berdasarkan fiksi) ironi kehidupan namun dalam bahasa yang cantik (apa ganteng mas ? :),mampu menyentuh hati saya.
Jadi semua orang sebetulnya bisa menulis ya mas jika ia mau, namun yang membedakannya adalah 'cara ia menuangkan diksi ke dalam kanvas tulisannya'.
Terimakasih mas,sudah berbagi :)
Yang jelas puisi mirip dengan kiasan yang ditulisakan dalam kalimat yang memiliki arti tertentu.....
saya jadi bingung bedain nya sob...hihi
salam kenal sob...
menggambar kalimat
sing penting nulis wae lah
hehehe
"Pria lebih rasional dari wanita? tidak.
kalau seolah terjadi seperti itu, karena pembagian kerja yg terbentuk oleh kultur ribuan tahun. bukan sesuatu yga natural. maka bias rasionalitas itu sekarang mudah terkoreksi (kecuali dipelihara oleh kultur tertentu demi kepentingan dominasi pria).
Puisi dan prosa lebih mengandalkan pilihan kalimat dan logika berbahasa. Kedua kelamin memiliki kesempatan sama untuk itu. Rasa adalah sikap rasional. Kenapa pria mendominasi? bukan karena sikap rasional adalah milik pria, tetapi kekuasaanlah milik pria, maka karena dari dulu perempuan terdominasi dan tidak berprosa-puisi."
Begitu katanya mas :)
kalau liat diatas emang penulisannya hampir sama seperti puisi,jadi terkesan memang puisi...
Ketika sudah dirangkai menjadi jauh lebih indah ( mungkin ) bagi seseorang. Tapi tetap masih belum bisa menuliskan arti yang tepat dari puisi. Yang penting menulis apa adanya saja.. :)
Untuk jawaban Cak Marto mungkin ada benarnya, karena dia melihat dari sudut pandang yg lain. Tuhan menciptakan manusia secara proporsional, pria dan wanita diciptakan dengan porsi yg berbeda tentunya, karena kalau kita mengacu kepada hakekat hidup bahwa hak dan kewajiban (atau lebih tepatnya fungsi) masing2 jenis kelamin berbeda, jadi sifat/pembawaannya tidak sama.
(maaf kalau jawaban saya salah he.he..)
@uvebana: saya juga kurang paham, kita tafsirkan masing-masing saja ya..he.he terimakasih
@windflowers: setuju mbak, yg penting happy blogging aja, puisi nggak puisi yang penting ada maknanya..he.he.he
@Epenkah: puisi atau bukan puisi yg ditulis orang lain yg penting silaturahmi ya mas... :)
@Vivieck: saya kurang bisa membedakan mas, bingung he.he terimakasih kunjungannya... :)
@arief hidayat: jangan bingung mas, nikmati aja..he.he
@tomo: terimakasih... :)
@pakde sulas: saya juga bingung pakde, mungkin bener kata jenengan.. maturnuwun :)
@attayaya: setuju...
@etam grecek: tergantung sudut pandang yg membacanya.. :)
@Manajemen Emosi: terimakasih :)
@Halaman Samping Inung Gunarba: jadi tidak ada alasan tidak punya ide ya? he.he. terimakasih
@Om rame: yang penting terus semangat untuk berbagi om... :)
Untuk definisi, lantaran banyak juga definisi yang diberikan, jadi untuk sementara bisa kita tunda dulu. Tetapi, jika Anda menyempatkan waktu untuk mencari definisi puisi, meski beragam, ada satu kesamaan di dalamnnya, yaitu simbol atau simbolisasi atas makna atau realitas.
Penting juga dilihat bahwa definisi puisi juga bicara kesepakatan. Kesepakatan ini biasanya berdasarkan komunitas atau sosial. Jadi, boleh Anda berbeda pendapat. Tapi, lantaran kita bicara definisi, dan ketika sesuatu itu dibicarakan, jelas perlu ada hal generalnya.
Salah satu yang sering dilakukan untuk memahami sesuatu tertentu biasanya mencari lawannya.
Apa yang bukan puisi? Saya hanya akan memberi contoh umum saja.
antara kata-kata "saya jatuh cinta" dengan "aku kerap menoreh namanya di tiap pohon yang kutemui", jika diandaikan ia memiliki makna sama, lantas mengapa ada perbedaan pengungkapan? Dan, dari dua kalimat itu, manakah yang maknanya tidak habis digali?
Untuk masalah puisi yang baku saya pikir saya kurang memahaminya, makanya saya tidak berani memberikan nama tertentu untuk sebuah tulisan, karena saya takut salah, saya hanya memberi penegasan untuk sebuah identitas.
"saya jatuh cinta" dengan "aku kerap menoreh namanya di tiap pohon yang kutemui" saya tidak berani menamainya puisi atau bukan, karena kalau rangkaian kata yang mengikuti berbeda maka pemaknaannya juga berbeda. selain itu (menurut saya), keduanya mempunyai makna yang berbeda: "saya jatuh cinta" itu sudah jelas kalau saya sedang jatuh cinta, sedangkan "aku kerap menoreh namanya di tiap pohon yang kutemui" belum tentu kalau saya sedang jatuh cinta, bisa juga saking benci/dendam nya saya pada seseorang akhirnya saya menuliskan namanya di setiap pohon yg saya temui.
Maaf kalau jawaban saya salah, saya tidak ingin memperdebatkan, tapi saya hanya menjawab berdasrkan sudut pandang saya, dan sudut pandang saya belum tentu benar menurut orang lain.
Terimakasih untuk pencerahannya, sangat bermanfaat untuk referensi saya dalam berpendapat. salam... :)
Soal puisi, tepatnya pemenggalan itu, secara umum memang soal penegasan. Namun, jika mas amati perkembangan puisi mutakhir, pemenggalan sudah jarang diperhatikan, sudah banyak puisi yang sudah berpola "justify" (ini apa yah terjemahannya, sama rata kanan dan sama rata kiri yah?). Dengan demikian, jika kita menjadikan penggalan sebagai ciri puisi jadi tidak relevan nanti ketika mendapat perkembangan puisi mutakhir yang justify itu.
Soal baku, saya juga berusaha menghindari itu lantaran di antara para penyair saja udah ada perdebatan. Ingat kasus Taufik Ismail yang mengecam habis puisi selangkangan?
Kalo formal biasanya bicara hal-hal yang tidak umum, itu bisa dikesampingkan. Tapi saya ingin bicara hal umum dari puisi dalam kesempatan ini.
Nah, sekarang kita bisa tengok soal dua frasa yang sudah saya kemukakan itu.
Saya kutipkan pendapat Anda: ""saya jatuh cinta" dengan "aku kerap menoreh namanya di tiap pohon yang kutemui" saya tidak berani menamainya puisi atau bukan, karena kalau rangkaian kata yang mengikuti berbeda maka pemaknaannya juga berbeda. selain itu (menurut saya), keduanya mempunyai makna yang berbeda: "saya jatuh cinta" itu sudah jelas kalau saya sedang jatuh cinta, sedangkan "aku kerap menoreh namanya di tiap pohon yang kutemui" belum tentu kalau saya sedang jatuh cinta, bisa juga saking benci/dendam nya saya pada seseorang akhirnya saya menuliskan namanya di setiap pohon yg saya temui."
Jika saya tidak salah tangkap, kita melihat bahwa frasa "saya jatuh cinta" maknanya terbatas, sedangkan frasa "aku kerap menoreh namanya di tiap pohon yang kutemui" maknanya luas. Kemudian, seperti yang saya bilang sebelumnya, andaikan kedua frasa itu maknanya sama. meskipun begitu, frasa "aku kerap menoreh namanya di tiap pohon yang kutemui" bisa merangkum banyak hal atau suasana psikologis daripada frasa "saya jatuh cinta". Misalnya, menggunakan apakah seseorang itu ketika menorehkan nama sosok pujaannya di pohon? Atau, "ih, sampai segitunya yah tuh orang jatuh cinta", atau "kalo pohonnya banyak, capek juga yah", atau "itu maksudnya pengen bilang tuh orang jatuh cinta banget", dan lainnya. Itu berbeda sekali dengan frasa "saya jatuh cinta" yang segera saja dituju maknanya. Nah, di sinilah perbedaan karya sastra dengan teks biasa (ini secara umum da dasar yah, nanti kita bisa mengembangkan lagi paparannya).
Barangkali Anda juga pernah mendengar rumusan "Do not tell, just show!" ketika seorang sastrawan ditanya apa perbedaan sastra dengan yang bukan sastra. Nah, frase "saya jatuh cinta" itu adalah "tell" sedangkan yang atu lagi itu "show".
Para sastrawan biasanya berpegang pada hal ini ketika berkarya (Sekali lagi secara umum).
Itu kalo diandaikan dua frasa itu memiliki makna sama, kalo tidak bagaimana? Justru disitulah letak kekuatan makna puisi. Maknanya mengalir bahkan sampai ada teori "Sang Pengarang Sudah Mati", yang menekankan bahwa suatu teks ketika sudah digelar, maknya sudah tidak bisa mengacu pada sang pengarang saja, pembaca pun berhak membangun maknanya sendiri.
Senang berdiskusi dengan, Mas. Salam :-)
masalahnya nanti tidak akan ada titik temu, seperti pertanyaan duluan mana ayam sama telor.
yang pasti semua saya kembalikan pada pembaca, seandainya apa yang saya tuliskan itu keliru, biarkan orang berpendapat dan menyanggah tulisan saya, dan saya akan sangat senang. karena saya akan merasa selalu benar dengan pendapat saya kalau yang menilai adalah diri saya sendiri.
basic saya bukanlah sastra maupun filsafat, saya orang teknik yang hanya menulis sesuai kata hati saya. kalau Anda memandang pendapat saya dari sudut pandang sastra maupun filsafat tentunya saya salah, tapi seandainya Anda memandang dari sudut yang lain mungkin semua akan satu titik temu.
perbedaan itu rahmat, saya senang bisa sharing dengan Anda. terimakasih, saya bisa belajar banyak dari Anda. salam :)