Imah
Malam menghantarkan sepi dalam bising yang minggat beberapa waktu yang lalu, aku merasa nyaman dengan keadaan yang seperti ini. Semenjak Imah, perempuan cantik yang tinggal di seberang rumahku pulang dari ibu kota dengan tak membawa apa – apa karena di jalan dia dirampok dan diperkosa beberapa waktu yang lalu, suasana pasar seperti pindah di sekitarku.
Entah sejak kapan aku merasa menjadi seorang yang acuh seperti ini, karena aku merasa apa yang terjadi saat ini terlalu berlebihan untuk di dramatisir. Dalam pemikiran sempitku semua ini adalah sesuatu yang biasa, aku menilainya dari saat aku bertemu dia di ibu kota, aku merasa kaget dengan semua perubahan pada diri Imah. Aku merasa apa yang terjadi pada Imah saat ini adalah kewajaran, karena dengan kelebihan persepsi dan tingginya angan - angan dia selalu berusaha mengundang birahi setiap mata lelaki dengan tampilannya yang sok selebritis dengan dandanan menor dan pakaian yang seksi.
Rambut pirang, dada terbuka, dengan lekuk tubuh yang sepertinya ter-umbar menjadikannya merasa bangga jika ada yang memandang dan berdecak memujinya. Astaghfirullah. Mungkin aku terlalu picik dengan pemikiran yang seperti itu, tapi aku merasa semenjak dia keluar dari pesantren dan bekerja di ibu kota dia berubah seratus delapan puluh derajat. Jilbab yang anggun yang seolah dulu jadi kebanggan tiba–tiba tertanggalkan, dia seolah merasa gerah dengan balutan busana yang seperti itu. Dia merasa kehilangan kebebasan berekspresi mengeksploitasi keindahan tubuh dan kecantikan wajah yang telah di anugerahkan oleh Tuhan. Padahal saat kecil waktu kami masih sering main bersama, dia sering bercerita kalau cita – citanya ingin jadi guru ngaji dan bisa naik haji. Kami akrab sekali waktu itu.
Dia terlahir dari keluarga yang tidak mampu, jangankan untuk bermewah, unuk makan saja sulit, himpitan ekonomi memaksanya merantau ke ibu kota. Tapi entahlah, kerja apa dia disana. Di malam ini aku tak mau ada jerit tangis menyeru di lelap tidurku, andaipun nanti harus ada, apapun alasannya aku harus tak peduli, mungkin jika terpaksa aku harus memakinya. 02.43 dini hari kurasa mataku tak salah melihat jam dinding di kamarku, terdengar jerit tangis yang memecah kesunyian malam.
“Nyebut nduk ……, eling ….., eling nduk ….“. Jelas sekali, suara perempuan setengah baya yang meraung – raung itu adalah tangisan Mbok Yem, ibunya Imah.
“Aaahhhhh…. Ganggu orang tidur saja”. Spontan aku menggerutu, lirih aku memaki. Aku merasa sangat – sangat terganggu, apalagi mimpiku terputus gara – gara terbangunkan jerit tangis itu. Tapi aku tak pedulikan semua, kantuk lebih mengasyikkan untuk aku turuti dari pada jerit tangis dan suasana pilu yang kudengar dari rumah Mbok Yem itu, siapa tahu mimpiku yang tadi datang lagi.
Pagi kurasa indah hari ini, hangat sinar matahari menerobos masuk lewat kaca jendela kamarku, hangatnya memeluk, membelai mesra dan membangukan aku dari tidur yang tak lelap semalam. Masih seperti biasanya aku terlalu asik dengan bantal dan selimut hingga tak mendengar adzan subuh dari masjid belakang rumahku. Tak ada sarapan pagi ini, karena naiknya harga semua bahan pokok membuat kebiasaanku harus berubah, Ibu yang hobinya memasak tiba – tiba kebiasaannya itu terpaksa dirampas oleh kondisi ekonomi yang tak karuan, apalagi naiknya harga kebutuhan sehari – hari membuat hidup harus lebih “ pintar “. Memang terkadang ada baiknya juga keadaan ini, orang lebih bisa berfikir, tapi entah apakah yang di fikirkan orang – orang, jangan – jangan malah bikin orang berfikir kearah yang…. Ah, entahlah….
Biasanya segelas susu pasti terhidang di meja makan, kini yang nampak hanya sebotol air putih dan segelas teh, itu-pun pahit. Alhamdulillah. Aku harus bersukur atas semua yang ada ini, daripada tak ada apa – apa, masih banyak yang lebih kekurangan daripada aku.
Belum sempat aku memulai hari ini, tiba – tiba saja aku teringat dengan kejadian semalam. Rasa penasaranku tiba – tiba saja muncul : apa yang terjadi dengan tetangga sebelahku semalam ?.
“Duh Gusti… !!!“. Tak sempat aku berfikir panjang, suara jerit tangis dari rumah Mbok Yem membuat aku merasa terhipnotis dan seketika aku berlari tanpa peduli dengan wajahku yang tak sempat tersentuh air dan rambutku yang acak–acakan.
Nampak tetangga sekitar rumah juga ikut berhamburan, mereka juga penasaran dengan apa yang terjadi. Astagfirullah.., betapa terkejutnya aku. Aku lihat sesosok tubuh renta menangis meraung mendekap sesosok gadis yang terbujur kaku, ya, yang di dekap itu adalah Imah, dari mulutnya mengalir busa dengan mata terbelalak. Imah sudah mati.
Spontan semua yang ada berebut menenangkan Mbok Yem dan berusaha melepaskan mayat Imah dari dekapan Mbok Yem yang seketika itu juga jatuh pingsan. Di sudut ruangan itu terlihat lelaki tua lunglai duduk terpaku, nampak sekali bahwa dia sangat terpukul, matanya menerawang kosong, air mata mengalir membasahi pipinya yang sudah keriput. Ya, lelaki tua itu adalah Pak Dul, bapaknya Imah. Kuhampiri dia, rasa ibaku membuat aku harus berbuat sesuatu. Belum sempat aku duduk, terdengar suara dari mulut lelaki tua itu lirih : “ Imah sudah mati…”
Aku yang sedianya ingin menenangkan Pak Dul merasa tak bisa apa – apa, lidahku seolah kaku. Aku hanya termangu, duduk disebelah Pak Dul yang sedang terpukul, aku merasa bersalah dengan keangkuhan dan ketidakpedulianku semalam, aku merasa terlalu bodoh dengan pemikiran – pemikiran yang cenderung picik.
Kulangkahkan kakiku perlahan, aku turut larut dalam keriuhan suasana di rumah itu, aku merasa terpukul, bukan karena kematian Imah tapi karena perenungan akal yang bebal karena keangkuhan.
Matahari masih panas – panasnya di atas kepala, saat para pelayat bergegas pergi dari makam. Suasana hening, di bawah pohon kamboja aku masih menatap bisu, kupandangi dua orang tua yang tak bukan adalah Mbok Yem dan Pak Dul yang tak hentinya menangis diatas pusara Imah. Mereka sangat terpukul. Entahlah, mereka menangisi kepergian anaknya atau himpitan ekonomi keluarga yang membuat anaknya bunuh diri.
Belum selesai lamunanku ketika tiba – tiba aku dikejutkan oleh suara yang lirih menyapaku, “Mas…“, ternyata Seno, adiknya Imah yang muncul dari belakangku. Tak sempat aku bertanya, mungkin dia sudah mampu membaca semua tanya dan rasa penasaran di wajahku, mungin dia sudah meraba Tanya apa yang ada di benakku, tanpa jeda ia ceritakan semua perihal kematian Imah.
Rupanya semalam Imah mencoba untuk mengakhiri hidup dengan cara gantung diri, tapi usahanya keburu dipergoki ibunya, mungkin bukan dengan cara itu hidupnya harus berakhir. Betapa terkejutnya aku, aku baru menyadari kalau aku benar – benar picik. Aku yang mengira bahwa kematian Imah karena bunuh diri atas rasa malu dengan peristiwa pemerkosaan itu, ternyata salah. Memang benar Imah bunuh diri dengan menenggak racun, tapi bukan karena kasus pemerkosaan itu dia bunuh diri, bukan karena aib itu dia mengakhiri hidup, tapi karena himpitan ekonomi keluarganya. Ya Allah…
Aku semakin terdiam, terlarut dalam pergolakan nurani tanpa aku sadari dengan keberadaanku yang tinggal sendiri. Matahari sudah diufuk barat dan tiba waktu untuk hadirkan gelap. Semua sudah meninggalkan makam ini, tinggal aku, hanya aku yang masih menatap makam dari ujung keujung mataku menyapu, Masih banyak tempat tersisa di makam ini, masih tersedia begitu banyak ruang kosong di hamparan batu – batu nisan ini. Semoga saja tak lekas penuh dengan pusara, agar aku masih kebagian tempat pada waktunya, aku takut, aku benar – benar takut jika nantinya pemakaman ini dipenuhi dengan mayat – mayat orang yang berhati ciut dan berpikiran sempit, mereka yang merampas kehidupan dari dirinya sendiri. Hamparan yang dipenuhi kuburan orang – orang yang meneladani Imah, mereka yang mati bunuh diri karena himpitan ekonomi. Semoga.
Entah sejak kapan aku merasa menjadi seorang yang acuh seperti ini, karena aku merasa apa yang terjadi saat ini terlalu berlebihan untuk di dramatisir. Dalam pemikiran sempitku semua ini adalah sesuatu yang biasa, aku menilainya dari saat aku bertemu dia di ibu kota, aku merasa kaget dengan semua perubahan pada diri Imah. Aku merasa apa yang terjadi pada Imah saat ini adalah kewajaran, karena dengan kelebihan persepsi dan tingginya angan - angan dia selalu berusaha mengundang birahi setiap mata lelaki dengan tampilannya yang sok selebritis dengan dandanan menor dan pakaian yang seksi.
Rambut pirang, dada terbuka, dengan lekuk tubuh yang sepertinya ter-umbar menjadikannya merasa bangga jika ada yang memandang dan berdecak memujinya. Astaghfirullah. Mungkin aku terlalu picik dengan pemikiran yang seperti itu, tapi aku merasa semenjak dia keluar dari pesantren dan bekerja di ibu kota dia berubah seratus delapan puluh derajat. Jilbab yang anggun yang seolah dulu jadi kebanggan tiba–tiba tertanggalkan, dia seolah merasa gerah dengan balutan busana yang seperti itu. Dia merasa kehilangan kebebasan berekspresi mengeksploitasi keindahan tubuh dan kecantikan wajah yang telah di anugerahkan oleh Tuhan. Padahal saat kecil waktu kami masih sering main bersama, dia sering bercerita kalau cita – citanya ingin jadi guru ngaji dan bisa naik haji. Kami akrab sekali waktu itu.
Dia terlahir dari keluarga yang tidak mampu, jangankan untuk bermewah, unuk makan saja sulit, himpitan ekonomi memaksanya merantau ke ibu kota. Tapi entahlah, kerja apa dia disana. Di malam ini aku tak mau ada jerit tangis menyeru di lelap tidurku, andaipun nanti harus ada, apapun alasannya aku harus tak peduli, mungkin jika terpaksa aku harus memakinya. 02.43 dini hari kurasa mataku tak salah melihat jam dinding di kamarku, terdengar jerit tangis yang memecah kesunyian malam.
“Nyebut nduk ……, eling ….., eling nduk ….“. Jelas sekali, suara perempuan setengah baya yang meraung – raung itu adalah tangisan Mbok Yem, ibunya Imah.
“Aaahhhhh…. Ganggu orang tidur saja”. Spontan aku menggerutu, lirih aku memaki. Aku merasa sangat – sangat terganggu, apalagi mimpiku terputus gara – gara terbangunkan jerit tangis itu. Tapi aku tak pedulikan semua, kantuk lebih mengasyikkan untuk aku turuti dari pada jerit tangis dan suasana pilu yang kudengar dari rumah Mbok Yem itu, siapa tahu mimpiku yang tadi datang lagi.
*****
Biasanya segelas susu pasti terhidang di meja makan, kini yang nampak hanya sebotol air putih dan segelas teh, itu-pun pahit. Alhamdulillah. Aku harus bersukur atas semua yang ada ini, daripada tak ada apa – apa, masih banyak yang lebih kekurangan daripada aku.
Belum sempat aku memulai hari ini, tiba – tiba saja aku teringat dengan kejadian semalam. Rasa penasaranku tiba – tiba saja muncul : apa yang terjadi dengan tetangga sebelahku semalam ?.
“Duh Gusti… !!!“. Tak sempat aku berfikir panjang, suara jerit tangis dari rumah Mbok Yem membuat aku merasa terhipnotis dan seketika aku berlari tanpa peduli dengan wajahku yang tak sempat tersentuh air dan rambutku yang acak–acakan.
Nampak tetangga sekitar rumah juga ikut berhamburan, mereka juga penasaran dengan apa yang terjadi. Astagfirullah.., betapa terkejutnya aku. Aku lihat sesosok tubuh renta menangis meraung mendekap sesosok gadis yang terbujur kaku, ya, yang di dekap itu adalah Imah, dari mulutnya mengalir busa dengan mata terbelalak. Imah sudah mati.
Spontan semua yang ada berebut menenangkan Mbok Yem dan berusaha melepaskan mayat Imah dari dekapan Mbok Yem yang seketika itu juga jatuh pingsan. Di sudut ruangan itu terlihat lelaki tua lunglai duduk terpaku, nampak sekali bahwa dia sangat terpukul, matanya menerawang kosong, air mata mengalir membasahi pipinya yang sudah keriput. Ya, lelaki tua itu adalah Pak Dul, bapaknya Imah. Kuhampiri dia, rasa ibaku membuat aku harus berbuat sesuatu. Belum sempat aku duduk, terdengar suara dari mulut lelaki tua itu lirih : “ Imah sudah mati…”
Aku yang sedianya ingin menenangkan Pak Dul merasa tak bisa apa – apa, lidahku seolah kaku. Aku hanya termangu, duduk disebelah Pak Dul yang sedang terpukul, aku merasa bersalah dengan keangkuhan dan ketidakpedulianku semalam, aku merasa terlalu bodoh dengan pemikiran – pemikiran yang cenderung picik.
Kulangkahkan kakiku perlahan, aku turut larut dalam keriuhan suasana di rumah itu, aku merasa terpukul, bukan karena kematian Imah tapi karena perenungan akal yang bebal karena keangkuhan.
*****
Matahari masih panas – panasnya di atas kepala, saat para pelayat bergegas pergi dari makam. Suasana hening, di bawah pohon kamboja aku masih menatap bisu, kupandangi dua orang tua yang tak bukan adalah Mbok Yem dan Pak Dul yang tak hentinya menangis diatas pusara Imah. Mereka sangat terpukul. Entahlah, mereka menangisi kepergian anaknya atau himpitan ekonomi keluarga yang membuat anaknya bunuh diri.
Belum selesai lamunanku ketika tiba – tiba aku dikejutkan oleh suara yang lirih menyapaku, “Mas…“, ternyata Seno, adiknya Imah yang muncul dari belakangku. Tak sempat aku bertanya, mungkin dia sudah mampu membaca semua tanya dan rasa penasaran di wajahku, mungin dia sudah meraba Tanya apa yang ada di benakku, tanpa jeda ia ceritakan semua perihal kematian Imah.
Rupanya semalam Imah mencoba untuk mengakhiri hidup dengan cara gantung diri, tapi usahanya keburu dipergoki ibunya, mungkin bukan dengan cara itu hidupnya harus berakhir. Betapa terkejutnya aku, aku baru menyadari kalau aku benar – benar picik. Aku yang mengira bahwa kematian Imah karena bunuh diri atas rasa malu dengan peristiwa pemerkosaan itu, ternyata salah. Memang benar Imah bunuh diri dengan menenggak racun, tapi bukan karena kasus pemerkosaan itu dia bunuh diri, bukan karena aib itu dia mengakhiri hidup, tapi karena himpitan ekonomi keluarganya. Ya Allah…
Aku semakin terdiam, terlarut dalam pergolakan nurani tanpa aku sadari dengan keberadaanku yang tinggal sendiri. Matahari sudah diufuk barat dan tiba waktu untuk hadirkan gelap. Semua sudah meninggalkan makam ini, tinggal aku, hanya aku yang masih menatap makam dari ujung keujung mataku menyapu, Masih banyak tempat tersisa di makam ini, masih tersedia begitu banyak ruang kosong di hamparan batu – batu nisan ini. Semoga saja tak lekas penuh dengan pusara, agar aku masih kebagian tempat pada waktunya, aku takut, aku benar – benar takut jika nantinya pemakaman ini dipenuhi dengan mayat – mayat orang yang berhati ciut dan berpikiran sempit, mereka yang merampas kehidupan dari dirinya sendiri. Hamparan yang dipenuhi kuburan orang – orang yang meneladani Imah, mereka yang mati bunuh diri karena himpitan ekonomi. Semoga.
Slawi, Mei 2008
~cerita ini hanya fiktif , nama dan peristiwa hanya karangan belaka, bila ada kesamaan nama dan peristiwa hanya sebuah kebetulan. semoga ada hikmah yang bisa diambil. terimakasih~
17 comments for "Imah"
Mungkin fenomena Imah ini juga adalah kesalahan kita semua, yg kurang perduli kpd sesama, blm mampu menolong mereka dr jurang keterpurukannya.
Catatan yg mengharukan mas, terimakasih sdh berbagi.
terimakasih mbak..
terimakasih pak
terimakasih.