Tutur Tinular dan Cerita Sinetron Indonesia
Dulu, waktu masih anak-anak, saya suka mendengarkan siaran sandiwara radio, mulai dari Misteri gunung Merapi, Tutur Tinular, Saur Sepuh, Babat Tanah Leluhur, hingga masih hafal nama-nama yang kerap menjadi pengisi suaranya. Sebut saya Ferry Fadly, Elly Ermawati, Hari Akik, dan masih banyak lainnya. Dan kemarin, saat membaca sebuah ulasan di koran, saya baru tahu kalau ternyata sinetron Tutur Tinular versi 2011 yang tayang di Indosiar menimbulkan protes dari banyak fihak.
Sampai-sampai, bermunculan ajakan untuk boikot tayangan sinetron ini. Ada juga yang sudah melayangkan protes ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Apakah sudah begitu parahnya sinetron ini?, entahlah, saya sendiri belum pernah menyaksikan sinetron ini secara penuh di televisi, karena saya sudah malas, dan enggan menyaksikan kebanyakan sinetron di televisi. Saya kadung berasumsi kalau kebanyakan sinetron sekarang ini (maaf) hanya berorientasi pada profit, banyak cerita yang terlalu berbelit-belit, kurang berbobot, bahkan ada juga cerita yang sudah diluar logika.
Kembali ke pro kontra sinetron Tutur Tinular versi 2011. Dari referensi bacaan yang saya ketahui, ada alur cerita sinetron ini (katanya) sudah menyimpang dari cerita aslinya. Banyak tokoh fiktif yang dimunculkan, yang dalam cerita aslinya sebenarnya tidak ada. Saya tidak menyebut secara langsung nama fiktif seperti Mak Lampir, Grandong, Krisna, dan lainnya, karena saya sendiri juga tidak mengikuti sinetron ini. Kalau memang ini benar, patut disayangkan, karena memang bisa "membelokkan" sejarah, memberi pemahaman yang keliru pada generasi sekarang yang belum pernah mendengar atau membaca kisah cerita yang versi aslinya.
Sebenarnya sah-sah saja stasiun televisi atau rumah produksi membuat sinetron, apalagi demi mengejar keuntungan, saya pikir itu wajar. Tapi, kalau sudah membuat cerita baru ditengah cerita yang sudah ada, ini patut menjadi catatan, karena sama saja ini "merubah" sejarah. Kalau ingin membuat cerita versi baru, bisa saja membuat naskah dengan penokohan yang hampir sama, setting cerita yang hampir sama, tapi dengan judul yang berbeda.
Dengan pertimbangan nilai sejarah sebuah cerita, mungkin akan lebih baik kalau sebuah cerita itu dibuat sesuai dengan aslinya. Bila sebuah cerita dibuat banyak versi, tentunya akan membuat rancu, kalau masih sesuai pakem sih tidak masalah, tapi kalau sudah disertai dengan penambahan atau pengurangan isi cerita?, rancu, bukan?. Kalau sebuah lagu dibuat banyak versi (dangdut, pop, rock, keroncong, dll), itu mengasyikkan bagi penikmatnya, tapi kalau cerita asli yang ada itu dibuat dengan versi yang berbeda dan keluar dari cerita sebenarnya?, Anda tentu punya jawaban sendiri-sendiri. :)
Sudahlah, Anda tidak harus sepakat dengan pendapat saya. Ini hanyalah pendapat saya pribadi, bukan masalah suka atau tidak suka, saya menghargai penikmat, pembuat, dan pemain sinetron Tutur Tinular versi 2011 ini, lha wong membuat sinetron ini juga butuh kerja keras dan biaya yang besar kok. Tapi, intinya bahwa saya kurang sepakat kalau sebuah cerita keluar dari pakemnya. Kalau misalnya ada ide baru, mungkin akan lebih baik bila membuat skenario baru, dengan judul yang baru pula. Tak terbayangkan kalau misalnya nanti akan muncul versi terbaru, Misteri Gunung Merapi, tapi dengan cerita Mak Lampir sedang berada di diskotek bareng dengan Wiro Sableng, atau Sembara berada di panggung dangdut ketemu Via Vallen. :D
Anda bisa membaca referensi mengenai Tutur Tinular di wikipedia, atau bisa mencari referensi yang lebih banyak mengenai pro dan kontra sinetron ini, di google. Nah, apakah Anda sering menyaksikan sinetron Tutur Tinular versi 2011 ini?. Apakah Anda punya cerita atau pendapat mengenai sinetron ini?.
Sebenarnya sah-sah saja stasiun televisi atau rumah produksi membuat sinetron, apalagi demi mengejar keuntungan, saya pikir itu wajar. Tapi, kalau sudah membuat cerita baru ditengah cerita yang sudah ada, ini patut menjadi catatan, karena sama saja ini "merubah" sejarah. Kalau ingin membuat cerita versi baru, bisa saja membuat naskah dengan penokohan yang hampir sama, setting cerita yang hampir sama, tapi dengan judul yang berbeda.
Dengan pertimbangan nilai sejarah sebuah cerita, mungkin akan lebih baik kalau sebuah cerita itu dibuat sesuai dengan aslinya. Bila sebuah cerita dibuat banyak versi, tentunya akan membuat rancu, kalau masih sesuai pakem sih tidak masalah, tapi kalau sudah disertai dengan penambahan atau pengurangan isi cerita?, rancu, bukan?. Kalau sebuah lagu dibuat banyak versi (dangdut, pop, rock, keroncong, dll), itu mengasyikkan bagi penikmatnya, tapi kalau cerita asli yang ada itu dibuat dengan versi yang berbeda dan keluar dari cerita sebenarnya?, Anda tentu punya jawaban sendiri-sendiri. :)
Sudahlah, Anda tidak harus sepakat dengan pendapat saya. Ini hanyalah pendapat saya pribadi, bukan masalah suka atau tidak suka, saya menghargai penikmat, pembuat, dan pemain sinetron Tutur Tinular versi 2011 ini, lha wong membuat sinetron ini juga butuh kerja keras dan biaya yang besar kok. Tapi, intinya bahwa saya kurang sepakat kalau sebuah cerita keluar dari pakemnya. Kalau misalnya ada ide baru, mungkin akan lebih baik bila membuat skenario baru, dengan judul yang baru pula. Tak terbayangkan kalau misalnya nanti akan muncul versi terbaru, Misteri Gunung Merapi, tapi dengan cerita Mak Lampir sedang berada di diskotek bareng dengan Wiro Sableng, atau Sembara berada di panggung dangdut ketemu Via Vallen. :D
Anda bisa membaca referensi mengenai Tutur Tinular di wikipedia, atau bisa mencari referensi yang lebih banyak mengenai pro dan kontra sinetron ini, di google. Nah, apakah Anda sering menyaksikan sinetron Tutur Tinular versi 2011 ini?. Apakah Anda punya cerita atau pendapat mengenai sinetron ini?.
22 comments for "Tutur Tinular dan Cerita Sinetron Indonesia"
@Asa Kata: semoga bisa diluruskan.. :)
@Eko Prih H: saya juga baru tahu belum lama, Pak :D
rasanya kok gimanaa gitu... masih aja bisa membodohi masyarakat.
@Dwi-jo: saya juga hampir tak pernah, Mas.. nonton TV saja jarang hehe.. apalagi acara televisi sekarang sudah banyak yang tidak berbobot :D
@mabrurisirampog: sama mas :)
@Rizkyzone.com: menurut saya, kalau cerita yang tidak sesuai pakem, akan lebih baik jika diberi judul baru, agar tidak membingungkan pemirsanya..
Salam kompak:
Obyektif Cyber Magazine
(obyektif.com)
Sebenarnya saya memang ndak suak sinetron, tapi pas nemenin ibuk nonton film ini sambil ngobrol, imajinasi saya yang ada sejak kecil dengan mendengarkan radio hilang karena mak lampir masuk dalam alur cerita bersama krisna da lain2... dari alur ceritanya yang gak berbobot dengan model yang sepertinya mengejar profit, memang sebaiknya di tuutp saja.... tapi anehnya kok banyak dari tetangga2 dan juga ibu saya lebih suka lihat sinetron ini, mungkin kalo gak mau ditutup ya sebaiknya di kembalikan lagi cerita seperti sejarah cerita ini yang pernah ada....
Biaya produksi pas-pasan? Tentunya kalau biaya produksinya ngepas, karakter-karakter tambahan tidak akan muncul. Siapa yang mau bayar pemerannya?
Jika muncul ketidak puasan penonton, saya kira, ini murni karena ketidak mampuan awak produksi kunci. Penata kostum, penulis skenario, sutradara, bahkan produser bisa kita persalahkan.
Jadi, tidak betul itu cuma masalah ngejar profit. Terlalu dangkal tuduhan itu.
Umumnya yang berkarya di bidang sinetron itu kebanyakan "para petualang kerja" saja, tapi soal dasar keilmuan mereka terbilang cukup asal-asalan.
Soal menyepelekan dasar keilmuan pun bisa dilihat dari para pemeran atau pemain, alias bintangnya. Tanya sama mereka, apa pernah belajar akting dengan cukup, dan paham benar mengenai profesi pemeran, sebelum mereka langsung terjun jadi pemeran?
Dasar keilmuan sangat penting. Buktinya apa kalau penting? Ya ini buktinya. Hasil kerjanya juga beda, bukan? Mengecewakan.